Senin, 16 Juli 2012

#1 Bab 01 part 03

Perjalanan pulang kali ini berlangsung cukup panjang dan berbelit. Tak lama lagi, aku bakal sampai di tempat yang aku inginkan, rumah. Tempat tinggalku yang nyaman. Tempat singgahku dan Mamaku. Rumah itu adalah suatu bangunan beruang nan sangat berharga bagiku. Tempat melepas lelah dan keluh kesah. Tak bisa kubayangkan orang-orang terdahulu yang berkehidupan nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Mau kemana mereka berteduh dengan nyaman sepertiku?
Tapi, saat setibaku didepan rumah, aku takjub, ada sesuatu yang asing, digerbang pagar rumahku terdapat papan kayu bertuliskan RUMAH INI DISEGEL. Apa? Terlihat beberapa orang dengan pakaian seragam yang sama, keluar masuk dari dalam rumah, masing-masing orang membawa barang-barang rumah seperti, kursi, meja, kipas angin, televisi. Serta kardus-kardus yang dipak. Disitu juga telah ada mobil pick up ukuran sedang, tempat peletakkan barang-barang. Rumahku tampak ramai dengan orang-orang tadi. Kubaca lagi papan kayu dengan tulisan selanjutnya, Oleh Bank Brilio.

Apa ini? Apa benar rumahku disegel? Ini benar-benar rumahku kan? Tak percaya, aku pun masuk ke dalam rumah untuk meyakinkan, mungkin Mama tau kenapa.
”Ma! Mama ada dimana sih?”, panggilku.
”Mama disini sayang!”, kudengar suara Mama dari kamarnya. Mama terlihat dari balik tirai pintu. Mama sibuk dengan mengepak barang.
”Ma, apa ini benar, ma?” Perasaanku begitu terpukul. Nggak ada pikiran lain yang melintas lagi. Aku benar-benar dalam keadaan tidak tenang.
Mama nggak mengucapkan satu kata pun, ia hanya mengangguk pelan seraya masih sibuk dengan pekerjaan barunya, mengepak barang. Dari pekerjaan Mama tadi, sekarang aku tau, rumahku memang disita dan disegel. Berarti semua itu betul adanya.
Ya ampun, hatiku masih bertanya-tanya. Apa ini benar-benar terjadi? Apa ini hanya mimpi? Apa benar firasat-firasatku tadi? Kok jadi de javu gini sih. Baru kali ini aku diusir dari rumah sendiri. Tak lagi punya hak untuk menempatinya. Tak lagi dapat tinggal di rumah sendiri. Sejak kecil aku sudah dibesarkan di rumah ini, tak bisa untuk meninggalkannya begitu saja.
Aku ingat, pasti ini ada hubungannya dengan keadaan ekonomi kami yang memburuk akhir-akhir ini. Aku tau semenjak meninggalnya Papa, kami kesulitan dalam melangsungkan hidup sehari-hari, semuanya serba kurang, semua kebutuhan tak bisa terpenuhi, semuanya berubah drastis, Mama yang kian tak kunjung mendapatkan pekerjaan, akhirnya berhutang di bank, namun tak kusangka pelunasan hutang tak dapat kami lakukan, hingga rumah ini disita. Aku tau Mama juga telah berusaha mencari uang hingga berhutang kepada orang lain, tenyata tetap tak cukup. Jadi Pak Rudy yang tadi minta maaf kukira karena dirinya tak bisa menolong keadaan ekonomi kami. Benakku masih takjub. Kucoba untuk bersabar dan bersadar diri. Ini real terjadi padaku. Oh, no!
”Vira, bantu Mama mengepak barang-barang ya? Semua barang-barang harus sudah dipindahkan sore ini”. Mama yang terlihat agak lesu, seperti tak mau menjelaskan apa-apa yang sedang terjadi. Menganggap aku dapat menebak alasan dari kejadian ini.
Aku pun terus bertanya-tanya, mau kemana kita? Mau tinggal dimana? Bagaimana dengan kehidupan selanjutnya? Bagaimana dengan sekolahku? Bagaimana dengan mimpi-mimpiku? Bagaimana dengan tempat yang baru nanti? Apakah bakal menjadi lebih baik? Ataukah bakal menjadi lebih buruk? Atau lebih menyedihkan seperti tinggal di jalanan? Bagaimana dengan keinginanku untuk terus berada disini? Apa yang harus kulakukan sekarang? Bingung campur aduk menyerang benakku.
”Ma, terus kita mau kemana?”, tak terasa setetes air mataku mengalir sebab kelopak mata yang tak mampu menahannya, kejadian ini benar-benar seperti sebuah tonjokan keras yang baru kali ini aku rasakan. Kehidupan kedepan kelak bakal berubah seratus delapan puluh derajat. Pindah rumah adalah harapan dan rencana yang tak pernah ada dalam hidupku. Pindah rumah sama saja dengan mengubah jalan kehidupan. Sungguh menyedihkan. Kenapa harus pindah?
Mama memelukku erat,”Tak usah sedih, kita masih beruntung kok”, Mama menenangkanku,”Kita akan pindah ke Jakarta, dan disana sudah ada rumah tersedia buat kita, kamu tenang saja”, sahut Mama dengan nada lembut. Mama masih bisa tegar sampai saat ini, keadaan kritis yang menimpa bukanlah halangan baginya. Kasihan Mama, harus memikul beban sebagai kepala keluarga sendirian.
Meskipun kami sudah memiliki tempat tinggal baru, aku tetap saja tak bisa merasa tenang, apalagi pindah ke ibu kota, sungguh ide yang tidak bagus. Semua itu sulit untuk aku terima mentah-mentah. Situasi ini memojokkanku untuk segera melakukan perubahan.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar