”Oh, No!”
Jam sekolah telah usai pada pukul 13.45 tepat, dengan tanda bel yang nyaris menekakkan telinga. Saatnya menyudahi serentetan pelajaran yang sempat membuat pusing dan penat. Semua siswa bersiap untuk segera meninggalkan sekolah serta menuju rumah masing-masing dengan mengambil langkah yang berbeda, lagian besok juga bisa bertemu kembali kan.
Sudah satu semester aku menempati kelas XI IPA-3, yang letaknya di lantai dua, jadi sudah terbiasa naik turun tangga berkali-kali. Biasanya kalo lagi males banget, pas istirahat nggak pernah turun, ya turunnya pas pulang aja. Itung-itung menghemat energi buat turun tangga pas pulang. Aku pun musti rela istirahat tanpa ke kantin menahan lapar dan haus. Kelas ini emang tempatnya nggak strategis juga bikin keluar keringat banyak. Namun, tak jarang para siswa berjejal di tangga karena tangga yang satu ini menjadi akses utama antara lantai atas dan bawah.
Saat ini, riuh ramai suasana sekolah tak bisa dihindarkan lagi, aku harus rela berjuang menyelundup dan menyelinap dengan sisa tenagaku di akses utama jalan keluar yang begitu sesak melalui desakan rapat. Tak peduli kalo nyenggol-nyenggol murid lain, juga harus rela bela-belain berkerumun dalam barisan rapat, toh aku juga nggak bakal mau nunggu sampe tangga sepi. Waiting is a boring thing. Dengan cepet nyampe rumah berarti aku lebih menghemat waktu.
Keributan pun mulai terjadi, ”Woi! Nggak usah dorong-dorong dong!”
”Eh, lu yang dorong-dorong gue...”, ujar yang lain.
Tapi, tetap ada yang netral, ”Sabar dong, ini juga lagi jalan”.
Selalu saja begitu, ternyata keributan itu terjadi karena aku juga termasuk biang keroknya. Emang kami semua orangnya nggak sabaran, kecuali orang yang netral tadi.
Pikiran kami hanya berisikan kelelahan, kalo siang-siang, nyampe rumah, trus menjatuhkan diri di kasur, adalah hal yang paling nikmat di waktu-waktu begini.
Akhirnya, perjuangan tinggal dipenghujung, kira-kira kurang tiga trap lagi buat selesai melewati perjalanan panjang dari si tangga. Naasnya suatu hal terjadi, gubrag... tubuhku begitu saja tejatuh di lantai karena kontrol kaki yang kurang, serta akibat dorongan yang aku lakukan, pokoknya lost control gitu. Haduh, sakit ni. Badanku tertelungkup, mukaku sampai mencium keramik lantai. Dan yang paling menyebalkan lagi, salah satu murid yang ada didepanku, yang telah kudorong tadi berkata, ”Haha... udah jatoh ketiban tangga...”. Huu, nggak nolongin malah bilang kaya gitu, lagian aku kan nggak ketiban tangga cuma jatohnya di tangga. Hah, sial banget sih gue. Nggak biasa-biasanya kecelakaan konyol kaya gini kualami. Atau mungkin ini jadi pertanda buruk? Ah, tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar