Rabu, 11 Juli 2012

#1 Bab 01 part 02

Setelah perjuangan di tangga, kini aku harus menghadapi jalan panjang. Kulangkahkan kakiku dengan pasti, menapaki jalan trotoar, menyebrang jalan raya dan sedikit melewati emperan toko. Fatamorgana muncul dari ujung jalan sampai depan gang, bayang-bayang air yang membuatku menjadi berdahaga kering. Suhu berlebih menimbulkan keringat mengalir dari atas dahiku, kayak gelas yang isinya air es dengan airnya yang mengalir diluar gelas. Wuih... segernya. Pikirku pun terus berarah pada air yang menyegarkan. Emang lagi haus banget sih.
Panas terik siang ini seakan membakar kepala, sang mentari bersinar menyengat terasa tepat diatas kepalaku, sungguh kali ini Indonesia sedang mengalami musim panas yang panjang. Tampak dari tumbuhan dipinggir jalan telah layu dengan tanah kering. Efek global warming pun tak terhindarkan. Bumi yang malang.
Adduuuhhh...! Panas banget sih! Tas selempang yang aku pakai makin berat dan tambah berat, apalagi siang-siang gini kerasa banget lapernya ditambah waktu istirahat tanpa ke kantin pula. Kuusap dahiku hendak menghilangkan keringat. Perjalanan ke rumah tinggal beberapa meter lagi, tapi capeknya kerasa sudah melalui perjalanan berratus-ratus kilometer. Aku harus segera menyelesaikannya, udah nggak tahan lagi, harus cepet-cepet nyampe rumah.

Meski tiap hari pulang sekolah harus jalan kaki panas-panasan kaya gini, aku tetap menikmatinya, karena aku melakukannya di suatu tempat, yaitu tempat tinggalku selama ini yang aku sayangi dan kucintai, salah satu tanah air Indonesia yang berada di belahan dunia. Haduh, nyebutinnya lengkap banget deh tu.
Aku tinggal disini, sebuah tempat yang bila disebut desa ,bukan, disebut kota besar, juga bukan, karena tempatku ini memang berada di pinggiran kota. Aku disini sejak pertama kali kumembuka mataku di dunia. Kehidupan anak-anak sampai sekarang duduk di bangku SMA, aku lalui disini. Banyak pengalaman dan momen berharga, kudapatkan dari sini, maka dari itulah aku menyukai tempat ini.
Apalagi rumahku yang tercinta adalah peninggalan dari Almarhumah Papaku, satu- satunya tempat berlindung yang sangat berarti bagiku dan Mama. Suatu tempat untukku kembali. Pepatah pun bilang,”Home is where the heart is”.
Anak tunggal sepertiku, tak punya saudara sedarah. Hanya tetangga-tetanggakulah yang menjadi teman sepermainanku selama ini. Mereka yang sangat baik dan ramah kepadaku hingga terjadi keakraban yang membuatku selalu bersyukur berada di tempat ini. Berat rasanya bila suatu saat nanti aku meninggalkannya. Emangnya aku bakal meninggalkannya suatu saat nanti? Tak taulah, semoga saja takkan pernah terjadi.
Tiba-tiba, ” Vira!”, ada yang menyebut namaku di pertengahan jalan, sempat membuyarkan pikiranku. Kutengok ke belakang, tak ada siapapun. Kutengok ke kanan, juga tak ada siapapun. Saat kutengok ke kiri, kulihat ada seseorang berbadan gemuk yang tingginya nggak jauh dariku, penampilannya kayak koki dengan pakaian serba putih namun tampak kotor, dilengkapi apron lusuh serta berwajah agak belepotan, dengan asap hitam menempel di pakaian yang dikenakannya, nggak salah lagi itu Pak Rudy, penjual roti yang memulai usahanya dengan kerja keras sendiri. Ia berada didepan gerbang toko roti miliknya yang sedang melambaikan tangannya ke arahku.
Kuhampiri tokonya, lumayanlah bisa berteduh sebentar. Kemudian ia memberikan segelas sirup dingin dengan beberapa pecahan es batu. Untuk sementara ini, lelah dan haus dapat kulepas. Akhirnya dapat juga merasakan air dalam dahagaku. Fuah...
”Terima kasih”, ucapku dengan senag hati. Pak Rudy hanya tersenyum.
”Ada apa, pak? Kok tumben jadi penyelamatku diantara panas matahari ini?”, tanyaku dengan sedikit berlebihan.
Pak Rudy tersenyum lagi,”Ah, biasa saja. Habis aku sempat lihat kau kecapekan kaya gitu, kasihan lah.”
”Makasih lho, pak! Jadi ngrepotin”
”Nggak juga. Itu kan hanya sekedar segelas sirup”
”Tapi Bapak telah berhasil menyelamatkanku dari fenomena alam panas terik ini”, kataku dengan agak berlebihan lagi.
”Ada- ada saja kau”
”Iya, bener kan?”
” Kalo gitu sekalian deh, aku mau menyampaikan minta maaf sama Mamamu”, sahutnya mengalihkan jalan pembicaraan seraya merapikan roti-rotinya dalam etalase kaca. Pembicaraan pun langsung barada di to the point.
”Emangnya ada apa sih? Tiba-tiba kok pake minta maaf segala? Pak Rudy kan nggak punya salah. Aneh banget.”
”Udah katakan saja, jangan banyak tanya”, serunya berubah menjadi agak galak.
”Sebenernya ada apa? Aku jadi penasaran nih!”
”Sudah, katakan saja! Mamamu pasti sudah tau kenapa alasannya”
”Oh, ya sudah”
Nggak mau berbelit-belit, lagian Pak Rudy sudah terlalu baik. ”Gitu ya, okelah nanti aku sampaikan. Sekali lagi makasih ya, pak!”
”Iya, iya, sana segera sampaikan!”
”Oke”
Aku pun segera menghabiskan segelas sirup yang kupegang dan beranjak dari sana untuk segera pulang dan menyampaikan pesan Pak Rudy, yang kurasa sangat penting. Rumah, aku datang.

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar