Kamis, 05 September 2013

Bukan saya yang salah.

Tangan itu dua, kaki itu dua, telinga itu dua, tapi mulut cuma satu. Bukankah benar jika bertindak dan mendengar lebih banyak intensitasnya daripada berbicara, harusnya begitu kan? Tapi, kenapa acap kali banyak orang yang hanya memberdayakan mulutnya saja, sedangkan mulut itu sifatnya lebih ‘tajam’ dibandingkan anggota tubuh lainnya. Your word is like a knife. Seakan mulut itu bisa menguasai segalanya, memperbudak segalanya, menentukan segalanya. Bukankah hidup itu bergerak dan bertindak untuk bisa mencapai tujuannya? bukan hanya omdo (omong doang). Setidaknya prinsip itu sudah sangat melekat dalam diri seorang introvert sebagai seorang pemikir, sebagai orang yang terlalu banyak ‘bicara’ dengan dirinya sendiri. Dan beruntunglah aku karena lebih banyak bergerak, maka cepatlah tercapai tujuan.

Aku selalu berfikir bagaimana caranya untuk mengembangkan diri, apapun bidangnya dengan memperbanyak pengalaman, karena pengalaman adalah guru terbaik. Maka dari itu, aku menyukai hal-hal baru yang ada disekitarku, yang akan memberikan beraneka pelajaran hidup. Walaupun aku yang katanya penyendiri dan pendiam, tapi aku adalah seorang penjelajah yang ingin senantiasa mendulang berbagai makna, tak semestinya berposisi stuck selamanya. Bagiku, dunia ini selalu terkesan memaksaku untuk menjadi seorang ekstrovert, bagaimana tidak? dengan menjadi ekstrovert seakan semuanya bisa diraih. Contohnya, orang ekstrovert itu temannya banyak karena mudah berkomunikasi dengan siapa saja, nah, dengan teman yang banyak itu mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan, seperti halnya, pertarungan, sekelompok orang akan lebih kuat daripada seorang saja, jadilah si malang introvert tersisihkan karena kurang mampu menjaring orang dengan perkataan. Dia tampak lemah dan kasihan, namun apakah kalian tau hei orang-orang ekstrovert, we’re more stronger than you.
Aku menyukai suasana brotherhood atau kebersamaan. Hal itu bisa diraih jika aku berada dalam sekumpulan orang-orang yang mengajak untuk bekerja sama. Komunitas, cukup sulit untuk bisa terjun di tengah-tengah mereka, akan ada yang namanya interaksi dan komunikasi yang menyebabkan keberbedaan antara introvert dan ekstrovert. Tapi aku menyukainya. Didapatlah aku yang senang mengikuti kegiatan organisasi serta kepanitiaan. Kalau ditanya mengenai hal penting atau membahas sesuatu yang membutuhkan pemikiran, posisiku sebagai anak intro belum bisa dibedakan, bahkan aku bisa saja lebih talkactive dengan pembicaraan yang logis. Tapi, ketika berkomunikasi antara orang satu dengan yang lain dengan perbedaan karakter yang memaksaku untuk ‘menyeleksi’ nyaman tidaknya aku untuk menanggapi masing-masing orang. Sehingga aku terkesan pendiam pada seseorang tapi aku juga bisa cerewet pada seseorang yang lain, tapi seseorang yang lain itu hanya bisa dihitung jari, jadi kesannya pun terlabel untukku, pendiam, yang tidak ikut dalam pembicaraan basa-basi dan guyonan, sesungguhnya aku pun tak mengerti dengan jalur pembicaraan yang dipakai. Kupikir hal itu memang tidak terlalu penting untuk dibicarakan, jadi aku memilih diam dan hanya mendengarkan. Kadang aku merasa sungkan dan terasa dikejar oleh hati ‘ayo bicara’, semata-mata agar aku bisa dekat dengan mereka, tapi apa yang harus dibicarakan? curhat tentang nasibku? tidak, mereka takkan mengerti dan itu jelas rahasia, guyonan baru? tidak, nampaknya mereka tak tertarik, akupun malas mengarang guyonan untuk mereka karena butuh pemikiran yang panjang. Susahnya mengakrabkan diri, aku hanya bisa diam dan diam, aku juga tak tau apa yang harus kulakukan, hanya bisa merasa sungkan. Tak mengenakkan.
Bodoh. Iya, aku ini bodoh, sudah tau, susah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Malah ikut-ikut organisasi yang mengutamakan komunikasi. Ya, jelas jadinya disalahin terus karena kurang komunikasi. Memang sih pengalaman yang didapat akan sangat berharga, dan juga mengenal orang untuk kesan pertama itu mudah, tapi untuk selanjutnya-selanjutnya ya tergantung orang itu sendiri jika selalu menyodoriku pertanyaan aku bisa kok menjawab, tapi plis jangan tinggalkan aku dalam diam. Aku tidak bisa berbasa-basi dengan baik. Jika orang ekstro bertanya, ’kok diem aja si?’ Halooo plis deh, sebelum kamu ngomong gitu, sebenarnya aku udah berbicara dalam benakku, bahkan saat kau belum menyadari keberadaanku. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling menyakitkan, meskipun aku kadang pernah mengeles, tapi tetap tidak puas. Kalian selalu saja meyalahkan aku yang diam, padahal semua hal itu harus seimbang, ada yang cerewet dan ada yang diam, bukankah begitu? Tapi benak ini juga selalu menjerit untuk cepat menyesuaikan dengan para ekstro untuk dapat diakui. Aku itu harus bagaimana agar sama seperti kalian???
Nyatanya aku selalu begini, orang introvert yang disebut pendiam. Dari semua pengalaman organisasi yang kudapati, aku tidak berubah bahkan ketika aku sudah berusaha keras pun, introvert ini terus terbawa dalam jiwa. Kadang aku iri ketika ada orang yang awalnya pendiam terus masuk dalam organisasi menjadi aktif, itu membuktikan kalau dia sebenarnya orang ekstro juga cuma kurang terlatih saja, sedangkan aku berkali-kali ikut aktifis, tapi…. sama saja hasilnya. Banyak orang yang menuntutku untuk bersikap extro, bahkan harapan-harapan itu diglintirkan sebagai pengiring ucapan selamat ulang tahun, dan ucapan penutupan acara kepanitiaan. Berubah menjadi ekstrovert?
TIDAK. aku tidak mau, i’m pround to be introvert. Seberapapun aku mencoba, aku tak bisa se-cerewet kalian. Aku selalu mengingat, ucapan itu merupakan suatu yang perlu dijaga untuk kepentingan dunia dan akhirat kelak. Bahkan ketika aku kelewat cerewet dengan teman-teman dekatku, aku selalu menyadarkan diri untuk tidak terlampau jauh. Yang terpenting adalah aku bisa menjadi diriku sendiri. Seorang yang terlabel pendiam, tapi bisa juga ‘gila’ ketika bertemu dengan orang-orang tertentu, pemikir, menyendiri untuk merefresh diri, dan adventurer yang senang dengan hal-hal baru.
Kukira cukup pengalamanku berorganisasi, terlalu melelahkan bertemu dengan orang eksrovert, sekarang saatnya menggapai impian yang belum tercapai dan mencoba hal baru lagi yang lebih mengerucut sesuai dengan tujuan hidupku. Aku percaya, denga masih memagang sifat intro-ku, aku tetap bisa mencapai tujuan hidupku yang sebenarnya, meskipun sangat sakit ketika menjalaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar