Kamis, 14 Maret 2013

Individual?

Individual, itulah sikap yang cocok untuk seorang introvert, tapi taukah kalian, wahai orang-orang extrovert, kami orang-orang introvert sama sekali tidak sepenuhnya menyukai individualitas, kami juga ingin hidup bersama, berkelompok, bersosialisasi, apalagi anugerah sifat pemimpin seorang introvert, bakal menguntungkan untuk suatu grup tertentu. Kenapa aku baru bikin posting ini? padahal keadaan inilah yang paling menyiksa tiap harinya bagiku. Kenapa? karena sekarang aku telah berada dipuncaknya, sesuatu yang tak bisa dinilai kebenaran ataupun kesalahannya.
Inilah paparanku mengenai berso’sial’isasi dengan sesama mahasiswa dalam kehidupan ngampus yang sedang aku jalani. Sebelumnya, aku sudah sadar kok kalau aku memang di-nasib-kan untuk selalu sendiri, sedikit teman, tidak menonjol dan mustahil untuk menarik perhatian orang banyak. Tapi, entah, ini keajaiban atau apa. Aku tanpa sengaja dipertemukan oleh beberapa orang yang kukira bernasib dan juga berpikiran sama. Kesan melankolis karena sendirian, terhapus dengan kehadiran mereka, aku nyaman berada diantara mereka, aku mendengar juga didengarkan. Jujur saja, sejak SD aku sangat terkucilkan, berteman dengan segelintir orang saja, menahan ekspresi dengan sikap diam, juga rasa keengganan yang tinggi. Sangat menyedihkan, tapi sekarang sudah satu semester lamanya aku selalu bersama mereka karna itulah comfort zone yang aku inginkan sejak lama. Bayangkan saja, yang biasanya aku hanya diem-dieman dengan seorang teman, kini aku bisa tertawa lepas dengan beberapa orang. Dulu yang tak mungkin memiliki teman cowok, sekarang bisa. Itulah yang aku sebut dengan keajaiban, Tuhan memang adil, memberikan kejutan hanya pada waktunya.

Namun, setiap ada kemenangan juga ada kekalahan, aku menyadari posisi kami sangat terpojok, kami dianggap geng-lah, dianggap menang sendirilah, nggak mau membaurlah dengan yang lain, semua itu dikarenakan frekuensi kami bersama terlampau jauh. Padahal sama sekali tidak ada maksud untuk bersikap begitu. Kami juga ingin bersama-sama, tertawa bersama, senang bersama. Tapi kenapa? kotak-kotak itu terasa semakin jelas dan aku membencinya. Aku tidak ingin berada dalam salah satu pihak, setidaknya berada ditengah. Batinku terus saja merasa tak enak dengan hal itu, apalagi ketika yang lain telah men-judge berlebihan. Hei, ingatlah, bisa tidaknya kita saling bersosialisasi secara dekat atau jauh, adalah tergantung sikap masing-masing dan juga pemikiran masing-masing. Terkadang aku mencoba untuk menetralkan keadan, tapi apalah daya, aku kembali disebut penyendiri individualis. Aku jadi tak mengeri apa yang harus kulakukan, aku seakan tak berdaya termakan arus kotak so’sial’.
Tanpa kusadari, seiring waktu berjalan, semakin lama aku bersama mereka, aku sedikit berubah dalam sikapku, omonganku yang sebelumnya sangat terkontrol, kini tak tentu bisa diatur jika bersama mereka, kesanku berubah, padahal ketika tak ada mereka, sikapku kembali ke normal, pendiam penyendiri. sendiri bukan berarti individualistis yang hanya pengen menang sendiri. Keadaanku sekarang seperti orang yang berlindung payung orang lain diantara riuhnya hujan, tanpa payung aku akan sengsara kehujanan.
Sekarang posisiku sangat tak mengenakkan, bukan begitu tapi enak tak enak sekali, ketika aku merasakan suasana nyaman, aku dihadapkan suasana menyeramkan lain yang sangat mengerikan. Sedangkan kalau duluaku hanya berada di sedikit kenyamana dalam suasana yang tak terlalu menyeramkan. Ini bukan masalah omongan saja, tapi juga sikap yang menentukan. Aku takut.
Di simpang dua, aku hanya menepi di salah satu jalan yang tak becek, salahkah? Padahal, aku juga tak tau manakah jalan yang berujung benar, apa lebih baik kembali berdiam di persimpangan? Atau tetap melangkah dengan dirundung tekanan batin tak berujung? karena sekali melangkah, tak akan bisa kembali lagi. Bagaimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar